Home Ads

Rabu, 01 November 2017

Percik Ramadan


Judul: Percik Ramadan - Agar Ibadah Puasa
Jadi Lebih Bermakna
Penulis: Zia Ul Haq
Dimensi: xii+140hal; 12x18cm
Penerbit: JagadPress
Harga: Rp45.000,-

Hidayah merupakan hak prerogatif Tuhan yang tak bisa kita otak-atik. Maknanya ialah petunjuk yang mengantarkan kita dari lorong gelap menuju jalan cahaya. Berupa petunjuk untuk menerima-Nya sebagai penguasa lahir batin kita, petunjuk untuk pasrah kepada tata aturan-Nya, maupun petunjuk untuk bertobat bagi kita yang lemah iman dan belepot dosa.

Nah, pertanda diperolehnya hidayah ini diawali dengan bersit hati untuk ‘bangkit’, atau disebut oleh Imam Abdullah Al-Haddad di dalam Adabu Sulukil Murid-nya dengan ba’itsun qawiy; dorongan yang kuat dan muncul dari lubuk hati terdalam. Sebab munculnya pun bermacam-macam; bisa karena menyimak nasehat dari ceramah ataupun bacaan, memandang wajah orang saleh atau didoakan oleh mereka, maupun tanpa sebab apapun, tiba-tiba muncul begitu saja.

Ketika dorongan hati untuk bangkit ini muncul, dan kadang hanya bertahan beberapa detik, maka kita sangat tidak disarankan menggunakan kata ‘nanti saja’. Berbahaya.

Mengapa bahaya? Karena bersit semacam ini adalah anugerah batiniah yang tak setiap saat muncul, dikaruniakan oleh Allah sebagai bentuk undangan istimewa dari-Nya. Sebagaimana disebut di awal tadi, kalau Ia tak menghendaki hidayah atas kita, maka gelaplah selamanya. Jika undangan-Nya kita abaikan dengan ‘nanti saja’, bisa jadi untuk seminggu ke depan, atau setahun ke depan, atau bahkan sampai ajal datang, kita tak lagi mendapat undangan serupa.

Lhoh, bukankah semangat semacam itu gampang diraih? Tinggal dengarkan ceramah agama, atau baca buku motivator hijrah (istilah kekinian), lalu bisa muncul ba’its berbuncah-buncah? Tak semudah itu.

Bisa saja kita simak berjam-jam ceramah, kita baca berjilid-jilid kitab, tapi langkah tak pernah terayun kemana-mana. Karena hidayah, sekali lagi, adalah dalam kendali Allah. Mungkin masih ada hijab (tabir penghalang) yang kita tidak tahu apa.

Ada bakul angkringan tepat di belakang kamar penulis, tepat menempel di tembok sebelah kamar. Obrolan dan gelak tawa pengunjung angkringan sangat jelas terdengar dari dalam kamar. Tapi karena terhijab tembok dan tak ada jalan, tentu saja untuk menuju tempat itu harus memutari bangunan berjarak sekitar lima puluh meter. Yang dekat jadi jauh. Artinya, sesuatu yang sebenarnya sangat dekat, kalau masih ada hijab di antara keduanya, tetap saja takkan sampai, takkan wushul.

Sebab itulah, ketersingkapan hijab kecil-kecilan bagi kita berupa ba’its ini adalah anugerah dari Allah yang tak patut disia-siakan. Ibarat motor, ba’its bagai bahan bakar atau sumber energinya. Tanpa sumber energi, secanggih apapun mesin motor dan semahal apapun harganya, tetap takkan bisa melaju kemana-mana. Seberotot apapun badan, sesehat bagaimanapun fisik, dan semolek apapun rupanya, kalau tak mendapat ba’its ya tetap saja takkan sempat bersujud di sudut malam.

Nah, bulan Ramadan menjadi musim semi bagi ba’its, bagi gejolak kebangkitan batiniah.
Kemauan berpuasa adalah salah satu bentuk hidayah agung yang tak ternilai, meskipun kita tak menyadarinya. Rasa bahagia, trenyuh, sumringah, atau mak-tratap di dalam hati ketika Ramadan menjelang merupakan salah satu bentuk ba’itsun qawiy yang perlu kita sambut dengan serius.

Penyambutan yang perlu disiapkan, salah satunya, adalah dengan memahami siapa yang kita sambut dan bagaimana kedudukannya. Apa yang ia bawa dan seberapa berharganya. Serta betapa mulia bercahaya nan gemerlapnya ia sebagai tamu, dan betapa lusuh dekil kotor nan melaratnya kita sebagai tuan rumah.

Dalam hal ini, muncul satu pertanyaan di benak penulis; sebenarnya siapa yang tamu dan siapa yang tuan rumah?

Tamu adalah ia yang datang untuk suatu keperluan. Sedangkan tuan rumah adalah ia yang menyambut, menyuguhkan hidangan, dan memenuhi keperluan si tamu. Maka kita bisa rasakan, justru Ramadan-lah yang menyuguhi kita dengan berbagai sajian istimewa; mulai dari pahala berlipat, Lailatul Qadar, hingga hidupnya hati di malam raya.

Kalau kita sering merasa jadi tuan rumah, kemudian menggemborkan Marhaban Ya Syahras Sa’adah, ‘selamat datang duhai bulan kebahagiaan’, mungkin Sang Bulan Suci lebih berhak menyapa kita dengan Marhaban Ya Ahladz-Dzunubi, Marhaban Ya Dzalima Nafsihi, ‘selamat datang wahai pendosa, selamat datang wahai penganiaya diri sendiri’.

Meskipun membahas puasa, buku ini tidak mengupas hukum-hukum maupun amaliah terkait dengan ibadah puasa. Hanya memuat beberapa pemahaman sederhana, berupa renungan ringan tentang ibadah puasa. Jika pembaca menemukan kekurangan maupun kesalahan tentang cantuman ayat Al-Quran maupun hadits dalam buku ini, silakan dikoreksi.

Penulis tuangkan renungan-renungan dalam buku ini yang sempat menjadi bahan obrolan di beberapa kesempatan bersama kawan-kawan, sekedar sebagai pengingat, terutama bagi diri penulis sendiri, untuk terus menerus memperbaharui tobat dan menjaga nyala api semangat. Kalaupun dikehendaki Allah, semoga bisa menjadi sebab munculnya ba’itsun qawiy dan wasilah hidayah bagi sekalian pembaca. Aamiin. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JagadPress

Penerbit JagadPress adalah lini penerbitan buku-buku Komunitas Santrijagad sebagai wadah literasi santri dan edukasi masyarakat. Buku terbitan JagadPress bisa dipesan melalui nomor kami 088227339747. Atau bisa juga melalui surat elektronik kami.




Pesan Buku via Whatsapp klik:

Pesan Buku via Email

Nama

Email *

Pesan *